Jumat, 10 Februari 2012

Entri Juni 2009 : GURU PROFESIONAL KONTRAK : SOLUSI PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN KITA

Hampir semua sepakat bahwa dari tiga faktor penentu keberhasilan pendidikan yaitu : perangkat keras (hardware) yang meliputi : ruang belajar, peralatan praktek, laboratorium, perpustakaan, dll,; perangkat lunak (software) yang meliputi :kurikulum, program pengajaran, manajemen sekolah, sistem pembelajaran, dll, serta
perangkat pikir (brainware) yaitu : guru, kepala sekolah, anak didik, dan orang-orang yang terkait dalam proses tersebut; maka guru adalah faktor yang paling menentukan. Argumentasinya adalah, ruang belajar bisa sangat sederhana; peralatan, laboratorium dan
perpustakaan bisa kurang memadai, tapi bila gurunya memiliki kualitas yang tinggi dalam mengajar maka guru tersebut akan dapat berinovasi untuk mencapai tujuan pengajarannya. Sebaliknya jika meskipun semuanya tersedia, jika gurunya tidak berkualitas maka semua peralatan tersebut tidak akan ada gunanya. Dahulu ada `joke’
tentang keinginan bangsa Jepang untuk tukar menukar tanah air dengan kita. Bangsa Indonesia silakan pindah ke Jepang dan ambil semua kekayaan Jepang dan ditambah boleh membawa semua harta yang ada dari Indonesia. Sebaliknya bangsa Jepang akan pindah ke tanah air kita hanya dengan mengenakan celana kolor saja. Dijamin dalam jangka waktu singkat bangsa Jepang akan kembali kaya dan tetap unggul karena keunggulan brainwarenya. Sebaliknya, meskipun telah mewarisi banyak harta dari Jepang, tak lama kita tentu akan terpuruk lagi karena SDM kita yang lemah. Jepang sangat percaya bahwa pendidikan adalah sangat penting dan guru merupakan profesi yang sangat terhormat dan sangat dihargai. Di Australia sendiri banyak master dan doktor yang bersedia menjadi guru (bukan dosen) di sekolah dasar dan menengah karena gaji mereka tercukupi di sana.RENDAHNYA KUALITAS GURU KITA
Rendahnya kualitas guru kita dapat dilihat dari hasil penelitian secara nasional yang dilakukan oleh Balitbang Depdiknas 2001 yang menyatakan bahwa hanya 42,4 % guru SDN yang layak mengajar, yakni memenuhi persyaratan akademis akan kewenangannya. Guru swasta justru lebih parah. Yang layak hanya 39,4 %. Ini baru SD. Jangan kata guru
di tingkat lebih tinggi. Keadaannya lebih `ngeri’, demikian ungkap Ki Supriyoko. Guru Matematika dan IPA tingkat ketersediaannya ternyata hanya 30 %. Artinya 70 % pengajar Matematika dan IPA adalah guru yang berlatarbelakang pendidikan lain. Tidak heran jika lomba di bidang Matematika dan IPA dalam forum “The Third International
Mathematic and Science Study” Indonesia hanya menduduki peringkat ke 39 dari 40 peserta.
Bagaimana dengan keadaan kita di Kaltim ? Alhamdulilah, tidak ada data tentang kualifikasi guru-guru kita sehingga kita tidak tahu seberapa `parah’ keadaan kita. Tapi sebagai gambaran bisa kita lihat dari hasil test guru-guru bahasa Inggris di Balikpapan yang rencananya akan ditingkatkan kualitasnya dengan mengirimkan mereka
untuk belajar ke Australia oleh Pemkot Balikpapan. Dari 200 guru bahasa Inggris yang diuji ternyata kurang dari 10 yang memiliki nilai TOEFL 450. Ini artinya kemampuan bahasa Inggris mereka sangat payah dan sebetulnya tidak layak untuk mengajar bahasa Inggris.
Berdasarkan pengamatan hampir 90 % pengajar bahasa Inggris di SD yang merupakan muatan lokal tidak memiliki kualifikasi untuk mengajar bahasa Inggris.
APA USAHA UNTUK MEMPERBAIKI KUALITAS GURU KITA ?
Dari kenyataan di atas jelas bahwa jika secara nasional kondisi pendidikan kita payah maka Kaltim tentunya tidak akan jauh berbeda. Kondisi pendidikan Kaltim akan sama payahnya jika kita bicara tentang kualifikasi guru-guru yang ada saat ini. Padahal kita sepakat bahwa hanya dengan memiliki guru-guru yang berkualitaslah kita baru akan bisa memperbaiki kualitas pendidikan kita secara mendasar dan menyeluruh.
Lantas bagaimana usaha para pemkab dan pemkot dalam usahanya untuk memperbaiki kualitas para guru mereka ? Sama sekali belum nampak suatu langkah strategis yang dapat dianggap sebagai suatu terobosan untuk memperbaikinya meskipun harus kita akui bahwa usaha untuk meningkatkan penghasilan mereka adalah suatu usaha yang juga sangat mendasar. Secara mendasar dapat kita katakan bahwa dengan meningkatnya penghasilan mereka maka mereka akan bisa lebih berkonsentrasi pada tugas-tugas mengajar mereka. Tapi itu masih berupa asumsi. Belum ada jaminan bahwa guru-guru kita akan mengajar dan mendarmabaktikan dirinya lebih baik setelah itu. Tentu saja
penghasilan yang memadai akan mendorong lulusan-lulusan terbaik untuk melirik pekerjaan guru yang semula dianggap hanya cocok untuk orang yang tidak bisa diterima di pekerjaan lain. Artinya kita bisa berharap bahwa nantinya akan banyak orang-orang pintar yang ingin menjadi guru. Contohnya adalah pada tes untuk menjaring tenaga pengajar politeknik Balikpapan yang ternyata cukup diminati meski dengan syarat yang cukup ketat.
Tapi bagaimana dengan guru-guru yang telah ada ? Apakah telah disusun suatu rencana strategis untuk meningkatkan kualitas mereka, umpamanya dengan berusaha meningkatkan pendidikan mereka agar tercapai suatu standar kualifikasi tertentu untuk dapat mengajar di suatu jenjang pendidikan umpamanya ? Sampai saat ini belum terdengar adanya usaha untuk itu. Pendidikan di Kaltim baru mulai bergerak dengan adanya otonomi daerah dan yang disentuh baru pada hal-hal yang bersifat emergency atau darurat.


MENEMBAK BERUANG DENGAN SENAPAN ANGIN
Jika usaha memperbaiki kualitas pengajaran bahasa Inggris kita adalah dengan mengirim beberapa orang guru agar memiliki `sertifikat internasional’ seperti yang diutarakan di atas maka jelas bahwa usaha tersebut seperti menembak beruang dengan senapan angin.
Suaranya memang keras tapi tidak akan dapat melukai beruang tersebut.
Apalah artinya 5 atau 10 orang yang akan dikirim ke luar negeri dibandingkan dengan besarnya kebutuhan akan tenaga guru bahasa Inggris yang berkualitas ? Secara hitungan matematis saja jika setiap tahun Balikpapan mengirim 5 % dari guru-guru bahasa Inggris
nya ke luar negeri maka seluruh guru bahasa Inggris saat ini baru akan terkirim semua 20 tahun kemudian. Artinya siswa-siswa Balikpapan baru akan bisa menikmati hasilnya 10 atau 20 tahun lagi.
Padahal asumsi itupun salah karena jika yang layak dikirim ke luar negeri hanya 5 orang maka yang 195 sisanya berarti tidak layak atau tidak memenuhi syarat untuk dikirim belajar lebih lanjut ke luar negeri, sekarang ataupun tahun-tahun berikutnya. Tidak ada jaminan bahwa mereka akan meningkat nilai testnya tahun depan karena memang
tidak ada pelatihan khusus bagi para guru untuk itu. Kalaupun dilakukan usaha pendidikan khusus bagi guru-guru bahasa Inggris untuk meningkatkan kualitas mereka tidak ada jaminan bahwa 20 % dari mereka akan bisa mencapai kualifikasi TOEFL 450, apalagi 500 seperti yang disyaratkan bagi guru bahasa Inggris. Besar kemungkinan bahwa
sebagian (entah besar entah kecil) guru bahasa Inggris kita tidak memiliki kualfikasi yang disyaratkan untuk bisa mengajar bahasa Inggris sehingga tidak akan mungkin dididik lebih lanjut. Guru yang tidak memiliki latar belakang bahasa Inggris tentu tidak akan bisa ditingkatkan lebih jauh dan harus mulai dari bawah lagi. Itupun kalau mereka punya bakat dan minat. Ini adalah ibarat mengirim guru Matematika untuk kuliah lanjut padahal latar belakang guru tersebut adalah IPS atau PMP. Artinya, usaha memperbaiki kualitas pengajar bahasa Inggris dengan mengirim 5 atau 10 orang ke luar negeri adalah seperti menembak beruang dengan senapan angin, hanya akan membuat beruang semakin ganas saja.

GURU KONTRAK : BELAJAR DARI SANG MURID
Semua tahu bahwa Malaysia yang dulunya mengimport guru-guru dari negera kita, artinya belajar dari guru-guru kita, ternyata saat ini telah bangkit menjadi negara dengan kualitas pendidikan yang jauh di atas kita. Pada tahun 2003 ini mereka bahkan telah melangkah lebih jauh dengan mewajibkan semua mata pelajaran IPA dan Matematika
diberikan dalam bahasa Inggris, pada semua level ! Artinya semua guru IPA dan matematika di semua jenjang pendidikan mereka dianggap telah mampu berbahasa Inggris secara aktif dan mampu membawakan materi mereka dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan kita yang bahkan belum bisa mewajibkan para guru bahasa Inggris kita untuk mengajar dalam bahasa Inggris. Hampir semua guru bahasa Inggris kita
memakai bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam mengajar bahasa Inggris !
Bagaimana Malaysia bisa sehebat itu ? Tahun tujuhpuluhan mereka telah menyadari bahwa pendidikan harus ditangani secara serius dengan langkah-langkah strategis, terutama adalah dengan meningkatkan kualitas guru sekolah mereka. Tapi berbeda dengan kita yang menganggap bahwa memperbaiki kualitas guru adalah dengan memperbaiki guru yang ada sebisa-bisanya, Malaysia jauh lebih maju dengan mengisi sebanyak-banyaknya sekolah mereka dengan guru-guru `kualitas import’. Ini artinya mereka tidak mau bermain-main dengan visi dan misi mereka untuk memperbaiki kualitas pendidikan mereka. Kalau mau bersaing secara global maka guru-gurunya harus
berkualitas global. Kalau di dalam negeri tidak tersedia ya ambil dari luar negeri. Simpel, berani, dan sangat strategis. Kalau ada pemerintah yang `bekoar’ akan mencetak lulusan yang bisa bersaing dengan lulusan negara yang telah lebih maju dengan kualitas guru seperti apa adanya sekarang ini maka pemerintah tersebut perlu diragukan akal sehatnya.

SEBERAPA MAHAL BIAYANYA ?
Meski sekilas nampak mahal untuk `mengimpor’ guru dengan kualitas `import’ tapi ternyata tidaklah semahal yang kita duga. Sebagai contoh, untuk memiliki 100 guru bahasa Inggris dengan nilai TOEFL 450, atau bahkan 500, umpamanya, masih bisa kita peroleh dari lulusan perguruan tinggi ternama di Jawa. Jika kita berani memberi gaji mereka 2 juta rupiah sebulan, umpamanya, maka untuk 100 guru tersebut diperlukan dana sebesar 200 juta rupiah sebulan atau 2,4 M setahun, dan jika ditambah ini dan itu menjadi 3 M setahun. Jika kita mengontraknya selama lima tahun, umpamanya, maka dana yang kita butuhkan hanyalah 15 M, suatu nilai yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan hasil yang bisa kita peroleh dalam 5 tahun tersebut. Dengan 100 orang guru bahasa Inggris dengan TOEFL 450 atau 500 tentu hasilnya akan lebih nyata ketimbang hanya mengirim 5 atau 10 orang ke Australia. Begitu juga dengan guru-guru SD, karena kalau mau mengubah kualitas pendidikan kita memang harus dimulai dari dasar. Jika sebuah Pemkab atau Pemkot mau mengontrak guru SD berkualitas dengan iming-iming gaji 2,5 juta sebulan ditambah perumahan dan fasilitas lain senilai 0,5 juta perbulan maka saya yakin akan banyak guru-guru berkualitas dari Jawa ataupun para sarjana lulusan terbaik yang bersedia untuk mengikuti program ini. Jika dikontrak 200 orang guru SD berkualitas terbaik maka dana yang dikeluarkan hanyalah 600 juta sebulan atau 7,2 M setahun atau 72 M sepuluh tahun. Suatu jumlah yang sungguh kecil untuk proyek pendidikan yang akan mengantarkan bangsa kita lepas dari kebodohan dan kemiskinan. Dua ratus orang guru SD berkualitas terbaik yang bisa diperoleh tentu akan bisa mengubah kualitass pendidikan dasar kita secara nyata dalam jangka waktu sepuluh tahun mendatang.

BAGAIMANA DENGAN GURU-GURU LOKAL ?
Seperti juga di Malaysia, guru-guru lokal diminta untuk belajar dari guru-guru `import’ dengan menjadi asisten atau pendamping guru-guru tersebut. Dengan demikian guru-guru lokal belajar langsung praktek mengajar dengan guru-guru berkualitas `import’, tanpa harus membayar ekstra. Jadi sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Siswa dapat pendidikan dengan guru berkualitas, para guru lokal juga mendapat tutor yang berkelas `impor’. Semuanya kena. Guru-guru yang perlu disekolahkan lebih lanjutpun bisa dengan tenang bersekolah karena siswa-siswa mereka sudah ditangani oleh guru-guru yang
berkualitas `impor’. Semua diuntungkan. Kalau mau betul-betul serius mengubah wajah pendidikan daerah di Kaltim, kontrak saja sebanyak mungkin tenaga pengajar berkualitas `import’ pada semua level. Dua ratus guru SD, 100 orang guru SLTP semua bidang studi, 100 orang guru SLTA semua bidang studi dan kontrak mereka minimal 5 tahun. Insya Allah dalam lima tahun daerah tersebut akan memiliki lulusan dengan kualifikasi minimal
lima besar di skala nasional.
Apa yang terjadi setelah kontrak tersebut selesai lima atau sepuluh tahun kemudian ? Tentu tidak ada masalah karena toh mereka bangsa kita sendiri. Kalau kita anggap guru-guru lokal kita sudah memiliki kemampuan seperti mereka maka kontrak bisa diputus dan selanjutnya guru lokallah yang akan melanjutkan tugas mengajar sepenuhnya. Guru kontrak ini bisa mencari kontrak di daerah lain yang mungkin bisa lebih tinggi nilanya, apalagi mereka sekarang sudah lebih berpengalaman. Seorang profesional tidak pernah kuatir dirinya tidak akan terpakai. Hanya orang yang tidak memiliki kemampuan yang takut untuk bersaing. Tapi kalau kita anggap guru kontrak tersebut menguntungkan bagi pendidikan daerah maka kontrak bisa diteruskan sambil terus berusaha untuk mempensiundinikan guru-guru lokal yang memang tidak memenuhi syarat. Kejam ? Lebih kejam lagi membiarkan anak-anak kita yang kita harapkan untuk membayar hutang-hutang negara kita kelak diajar oleh orang yang tidak memenuhi syarat. Adalah berdosa jika biarkan anak-anak kita belajar pada orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi guru.Ada sebuah pemeo yang menyatakan bahwa jika kita memilih insinyur yang bodoh maka akibatnya bangunan kita akan roboh. Tapi kita akan bisa membuat bangunan baru lagi. Tapi kalau kita memilih guru yang salah maka kita akan medapatkan anak-anak yang tidak bermutu dan itu tidak bisa kita perbaiki lagi. Wallahu alam !
Semoga ini menggugah kita untuk lebih perduli pada pendidikan anak-anak kita.

Entri Nopemer Tahun 2008 : Sertifikasi Guru, Menaikkan Gaji Menjadi 2 Kali Lipat

Mulai tahun 2008 bgai guru yang lulus sertifikasi guru akan mendapatkan tunjangan profesional yang besarnya sama dengan satu kali gai pokok, jadi seorang guru akan mendapatkan dua kali lipat gaji pada tahun 2007.

Keadaan tersebut (bisa jadi) mengakibatkan situasi di lingkungan guru semakin berharap-harap cemas. Berharap semua guru dapat disetifikasi dengan lulus baik dan layak sebagai guru yang profesional. Keadaan ini akan membawa pada bayangan guru yaitu bahwa setiap guru pasti lulus sertifikasi. Yang sudah diserfikasi akan mendapatkan gaji dua kali lipat. Padahal bukan gaji dua kali lipat tapi akan mendapatkan tunjangan fungsional setara dengan satu kali gaji pokok.

Para guru begitu gembira ketika ada sertifikasi guru dengan “iming-iming” gajinya dua kali lipat.

Tapi keadaan tersebut akan mulai memudar ketika seorang guru yang akan disertifikasi harus memenuhi kriteria tertentu. Maka terjadilah kegalauan dengan mengucapkan kalimat “sertifikasi guru hanya mempersulit guru saja, pemerintah sepertinya setengah hati”.

Saya setuju dengan diadakannya sertifikasi guru untuk menguji kompotensinya atau kualifaidnya. Dengan cara itu mungkin guru akan terpacu untuk meningkatkan kualitas dirinya, sehingga kalau sudah memenuhi kriteria baru guru tersebut mengikuti sertifikasi jangan memaksakan diri untuk mengikutinya.

Kalau seorang guru telah lulus sertifikasi baru diberi penghargaan berupa tunjangan profesional (besarnya agar disesuiakan dengan pemenuhan kesejahteeraan). Sekarang ada pemahaman bahwa sertifikasi merupakan formalitas untuk mendapatkan gaji dua kali lipat sehingga bagi guru yang belum siap akan menjadi iri, “Mengapa saya tidak lulus, tidak mendapatkan tunjangan profesiona? Kan saya juga PNS mengapa dibedakan? Kalau begini pemerintah sepertinya setengah hati untuk menysejahterakan guru”. Itulah pemahaman yang terjadi di lapangan.
Memang tidak dipungkiri sudah saatnya guru di Indonesia dimuliakan, disejahterakan, dan diberi penghidupan yang layak. Kalau sudah layak dalam kehidupan maka dengan adanya sertifikasi sepertinya tidak ada masalah. Meskipun dalam pelaksanaan sertifikasi beigtu ketat sepertinya tidak akan timbul masalah yang besar